8/06/2010

Movie Marathons #3


Pi (Darren Aronofsky, USA, 1998) 
Pi is independent filmmaking at its best. Aronofsky membuat film ini hanya dengan dana sebesar $60.000 yang kebanyakan ia dapatkan dari sumbangan teman dan keluarganya. Dengan ide cerita yang menggabungkan Wall Street, Kabbalah, dan teori numeric, film ini menghadirkan cerita yang berbeda dari film-film kebanyakan. Yes, what's most striking about this movie is it's 'different'. Aronofsky yang kemudian akan membuat 'Requiem for a Dream' (2000) dan 'The Wrestler' (2008) membuat cetak birunya di sini. Perpaduan shot hitam putih dan tentu saja kinetic cuts yang kemudian akan menjadi salah satu trade-marknya dieksekusi dengan baik di film ini. Seorang kawan pernah berkomentar bahwa film ini yang hanya akan disukai oleh mereka yang menyukai subyek matematika. Well, I have to disagree with that. I don't like math, and do not care about it at all, but I certainly love this film - it's genius.


3-Iron (Kim Ki-Duk, South Korea, 2004) 
Pepatah "silent is golden" boleh jadi berlaku untuk film ini. Saat film-film lain berlomba untuk menjadi yang paling 'berisik', Kim Ki-Duk menghadirkan suguhan sinema yang sederhana dengan hening (dalam artian sebenarnya). Hening bukan berarti bisu dan sederhana bukan berarti membosankan. Cerita simpel tentang seorang pria yang menjalani hidupnya dengan memasuki rumah-rumah yang ditinggal pemiliknya untuk berlibur, lantas sebagai ucapan terimakasih, mencucikan pakaian kotor, dan memperbaiki perabot yang rusak. Kita diajak mengkuti petualangannya, dari rumah satu ke rumah lainnya. Setiap scene - terlepas kenyataan nyaris tanpa dialog - bercerita dengan sangat efisien. Saya sendiri heran bagaimana caranya naskah sesederhana ini bisa berubah menjadi film yang sedemikian menarik. Tapi tentu saja kita harus mengingat nama Kim Ki-Duk, salah satu nama besar dunia sinema Korea, If anyone was born with the eye of the cinematographic magician, it must be him.

Battle Royale (Kinji Fukasaku, Japan, 2000) 
Sebuah masterpiece. 'Battle Royale' is one of the most controversial movies ever made. I don't want to brag about the plot, you just have to watch it for yourself. This is a film that has affected many people. Menyandang status cult dengan banyak penggemar, namun boleh jadi lebih banyak yang membenci. Ini hal yang menyedihkan mengingat mungkin kebanyakan orang (yang membenci) tak berhasil menangkap 'pesan besar' yang disimpan film ini dan malah lebih fokus terhadap kekerasan yang disuguhkan. But FUCK IT! This is highly highly highly (high as a fucking kite!) recommended!



Dracula (Tod Browing, USA, 1931) 
Selain 'Nosferatu' (F. W. Murnau, 1922) 'Dracula' adalah cetak biru genre film vampir. Ini film yang membuat nama Bela Lugosi menjadi legenda. Lugosi is Dracula, and Dracula is Lugosi. Lugosi's performance is one of the greatest in horror history (saya tak akan membandingkan Lugosi dengan Boris Karloff karena kemungkinan besar Lugosi akan memaki saya dari liang kubur). Tentu saja saya sadar, di jaman sekarang ini saya tak bisa menyebut ini film yang menyeramkan atau segala macam. But still, I would recommend this movie any time, it's a classic and I hope it stays that way into future generations. 



Jackie Brown (Quentin Tarantino, USA, 1997)
It's not a typical Tarantino movie, but is that necessarily a bad thing? In this particular instance, NO! Banyak orang yang kecewa dengan 'Jackie Brown', tapi tidak dengan saya. Tentu saja ini tidak lebih baik jika dibanding dengan 'Reservoir Dogs' (1992) atau 'Pulp Fiction' (1994). But I find it very enjoyable. Ini sebuah crime-flick dengan studi karakter yang baik. Saya merasa Tarantino lebih dewasa di sini dibandingkan film-filmnya yang lain. Karakteristik Tarantino-esque juga masih menyelinap di sana-sini: great soundtrack, pop culture references, and clever dialogue. Hal yang lebih adalah bagaimana Tarantino membuat karakter yang let say - well written. It's not in the same vein as Tarantino's other movies, at least not at a superficial level. However, it is extremely entertaining, helped along by a great cast and a terrific script.

Lolita (Stanley Kubrick, UK, 1962)
Sayang saya belum menonton Lolita versi Adrian Lyne yang dibuat tahun 1997, jadi tak bisa membandingkan mana yang lebih baik. But I have read the novel, and as far as I see Kubrick at least done a great job infusing his trademark touches to the material. Humbert Humbert bisa mendapat lebih banyak simpati di sini ketimbang dalam novel. Tapi semua orang mungkin akan setuju bahwa Peter Sellers berhasil mencuri perhatian lewat perannya sebagai Quilty dan Sue Lyon jelas mengagumkan, Sue menangkap peran seorang gadis remaja yang menikmati perhatian pria dewasa dengan natural. It's a great story about adult meditation on youth, obsession and sex. While not entirely faithful to the novel, the movie succeeds brilliantly in conveying the ideas and feelings that are the core of the novel, and it does so in completely cinematic terms.


Drag Me To Hell (Sam Raimi, USA, 2009) 
Raimi's back! Yes, saya telah menjadi penggemar Sam Raimi sejak pertama kali menonton 'Evil Dead Trilogy' beberapa tahun silam (walau saya tak terlalu menikmati hasil karyanya di 'Spider-Man'). So I'm glad to see Raimi's back to what he done best: Horror! 'Drag Me To Hell' is exactly what it should have been. It effortlessly takes a dump on 90% of the rest of the horror movies this decade has offered us. Mungkin memang tidak sebaik 'Evil Dead', tapi setidaknya film ini kembali mengingatkan dengan apa yang Raimi lakukan pada genre horor beberapa tahun silam. The camera angles, the score, the evil, and the dry humor - it all recalls how Raimi played with us in his earlier trilogy. Banyak penggemar what so called 'modern horror' mungkin tidak akan menyukai film ini, well I can understand why. Maybe people just take this movie too seriously, and I tell you: you can't take Raimi's horror too seriously. 'Drag Me To Hell' is flat out fun. It's scary, it's shocking, and at the same time it's funny. Maybe you can appreciate this one once you lose yourself and just enjoy the ride.

Groundhog Day (Harold Ramis, USA, 1993)
I remember watch this movie when I was a kid, and the idea just blew me away. Phil Connors (Bill Murray), seorang weatherman yang menyebalkan, terbangun setiap harinya untuk menemukan dirinya terjebak dalam hari yang sama lagi dan lagi... Bukan hanya hari biasa, tapi Groundhog Day (2 Februari), hari yang paling ia benci. Sebuah komedi masterpiece yang cerdas dari Harold Ramis. Not just an ordinary comedy, this film is also a meaningful existential thesis. Phil harus menjalani hari yang sama terus menerus, dan ini berarti tak akan ada perubahan berarti dalam hidupnya kecuali ia merubahnya sendiri. "In order to move a mountain, one should move himself first", dan itulah yang harus dilakukan Phil. It is so rare that a film's jokes seem just as fresh more than a decade later, but I believe that is because the theme underlying the humor will never go out of fashion. 'Groundhog Day' had fair box-office business and earned good reviews, but was completely overlooked by the Academy.

The Day The Earth Stood Still (Robert E. Wise, USA, 1951) 
Lupakan versi 2008 yang dibintangi Keanu Reeves, this one is much better (in term cinematic history). 'The Day The Earth Stood Still' diadaptasi dari cerita pendek karya Harry Bates, "Farewell to the Master". Hampir sama dengan science fiction drive-in movies lainnya di tahun 50an seperti 'The War of the Worlds' (Byron Haskin, 1952) dan 'Invasion of the Body Snatchers' (Don Siegel, 1956), film influensial ini menampilkan state-of-the-art visual effects dan kritik sosial terhadap perang dingin. Tak hanya menggodok isu macam politik dan sosial, film ini juga sebagai studi karakter manusia. Salah satu line paling terkenal dalam sejarah film sci-fi ada di sini, saat Helen berusaha menghentikan Gort: "Gort, Klaatu barada nikto."
 
Waltz with Bashir (Ari Folman, Israel, 2008) 
It’s an anti-war film. Folman merekam pengalamannya sendiri saat ia bergabung dengan militer. Walau memiliki tema yang nyaris sama dengan 'Parsepolis' (Marjane Satrapi, 2008), film ini lebih menyerupai sebuah dokumenter (with dramatised flashbacks) dengan medium animasi. Cerita terfokus pada event pembantaian yang terjadi di kemah pengungsian di Beirut pada tahun 80an - kejadian yang begitu traumatis hingga Folman sendiri tanpa sadar melupakannya. Alam bawah sadar Folman menolak maksud ini dan terus menghantuinya dengan kenangan-kenangan yang samar-samar Folman ingat. Untuk memulihkan memorinya, ia lantas menemui dan mewawancarai beberapa teman dan rekan sewaktu berada di militer, dan percakapan-percakapan inilah yang memberi kita jalan untuk melihat masa lalu Folman. Some may feel uncomfortable with Folman’s egocentric approach to remembering the tragedy of others, but there’s an honesty to his storytelling and an unflinching gaze on the horrors of war – for all involved – that it’s hard not to be affected by his recollections.


Shaun of the Dead (Edgar Wright, UK, 2004) 
I loved it, I just loved it. Without a doubt the funniest zombie-flick ever made (or should I say rom-com zombie?), this has a fair shot at being the decade’s most laugh-out-loud comedy full stop. Edgar Wright dan Simon Pegg memberikan tontonan SERU dengan orisinaltas. Shaun (Simon Pegg) adalah pekerja rendahan yang banyak masalah - hubungan percintaan yang hancur, karir yang mandek, dan ayah tiri yang kritis. Hidup membosankannya hanya dihibur dengan video game, pub langganannya (The Winchester), dan temannya yang pengangguran Ed (Nick Frost). Namun saat suatu hari seluruh kota diserang zombie, ini kesempatan Shaun untuk menunjukan bahwa ia bisa menjadi pahawan. Ini komedi yang keren dan tak biasa. Bahkan George A. Romero, sang raja film zombie pun menyukai film ini.

The Hurt Locker (Kathryn Bigelow, USA, 2009) 
Since I'm not really consider 'Inglourious Baterds' (Quentin Tarantino, 2009) as a war movie, should I say that 'The Hurt Locker' is the best war movie of the decade or just one of 'em? Whatever it is, sure the hell that this is just simply amazing! Berseting di Irak, sersan James (a superb Jeremy Renner) adalah seorang ahli penjinak bom yang mempertaruhkan nyawanya ratusan kali setiap saat ia beraksi. "War is a drug," the opening titles tell us. Dan ini yang boleh jadi dialami James. Baginya menjinakan bom adalah pertempuran antara dirinya dan sang pembuat bom. Kathryn, sebagai sutradara, melakukan pekerjaan baik di sini. Ia tidak terlalu memfokuskan filmnya dengan baku tembak dan segala tetek-bengek elemen yang biasa ada dalam setiap film perang lainnya. Ketakutan dan obsesi jadi hal krusial di sini. Kathryn bermain dengan editing, tempo, dan karakter tanpa bantuan CGI. She evokes suspense with classical ways and the execution is very nearly flawless.

Monster (Patty Jenkins, USA, 2004) 
This film made me sympathize with a serial killer. 'Monster' diangkat dari kisah nyata hidup Aileen Wuornos, seorang wanita yang melakukan 7 pembunuhan. Aileen sendiri adalah seorang 'korban'. Penonton tidak bersimpati akan tindakan pembunuhan yang ia lakukan, namun lebih kepada dirinya dan usaha kerasnya terakhirnya menjadi orang yang lebih baik untuk dirinya sendiri dan untuk orang yang dicintainya. Charlize Theron harus mendapatkan Oscar untuk perannya di sini, ia mentransformasi dirinya bukan hanya secara fisik tapi juga psikologis dengan sangat baik: She becomes pitiful, not hateful.

0 comments:

Post a Comment