8/14/2010

Thirst (2009)


Thirst (Bakjwi)
Park Chan-wook, South Korea, 2009
133 min/Color/Vampire-Flick

Semenjak Twilight Saga yang memuakkan itu, saya pribadi mulai lelah dengan flm-film bertema vampir. Untunglah di tahun 2008, Let the Right One In (Tomas Alfredson) seakan memberikan angin sejuk untuk genre vampire-flick. Dan di tahun 2009, Saya, atau boleh jadi kita semua harus berterimakasih pada Park Chan-wook yang telah menghadirkan Thirst.

Membicarakan dunia sinema Korea tentunya belum lengkap tanpa menyebutkan nama Park Chan-wook, salah satu nama besar yang beberapa tahun lalu melejit lewat film-filmnya seperti Joint Security Area (2000) dan Old Boy (2003). Setelah puas dengan tema balas dendam lewat Trilogy Vengeance, kini Park hadir dengan tema berbeda, sebuah studi moralitas di arena vampire-flick.


Sang-hyeon (Song Kang-ho), adalah seorang pendeta katolik yang berani melakukan segala kebaikan lewat jalan Tuhan. Keberanian dan pengabdiannya inilah yang lantas membuatnya tergerak untuk rela menjadi kelinci percobaan demi menemukan obat penyembuh untuk sebuah virus yang mematikan. Sialnya percobaan ini gagal. Sang-hyeon mati untuk beberapa saat-- atau setidaknya itulah yang diyakini para dokter yang dengan sigap berusaha menyelamatkan nyawanya, termasuk melakukan proses tranfusi darah. Proses transfusi ini mengembalikan nyawa Sang-hyeon, namun di sisi lain juga telah merubahnya menjadi makhluk yang haus darah.

Sang-hyeon kembali layaknya pahlawan. Ia kini dikenal sebagai satu-satunya relawan yang selamat dari percobaan yang mematikan. Ia kembali ke gerejanya, untuk meneruskan tugasnya seagai pendeta. Namun ada yang salah dalam diri Sang-hyeon, dan ia sendiri menyadarinya. Kini Ia harus bergelut untuk memuaskan nafsu liarnya, sembari di sisi lain harus meneruskan kewajiban dan pengabdiannya.


Tentunya sinopsis di atas hanya sebagian kecil dari keseluruhan plot yang tersaji di film peraih penghargaan Jury Prize di ajang Cannes Film Festival ini. Park Chan-wook berhasil membuat suguhan genre vampir yang berbeda. Dilema moral adalah hal yang lebih mencuat di sini ketimbang tema makhluk penghisap darah semata. Sang-hyeon pada dasarnya hanya ingin berbuat kebaikan, untuk kemudian niat baiknya justru merubahnya menjadi monster yang menakutkan. Ia tak pernah meminta hal tersebut terjadi, tapi toh terjadi juga, dan ia harus bisa menghadapinya. Di satu scene kita melihat Sang-hyeon yang kelaparan. Disaat seperti itu mungkin vampir-vampir lain akan segera menggigit leher korbannya, tapi tidak dengan Sang-hyeon. Ia justru dengan sabar mencuri darah dari alat transfusi seorang pasien rumah sakit dan memasukkannya ke sebuah tempat minum, untuk kemudian ia minum diam-diam di sebuah sudut kota yang sepi.

Park Chan-wook memasukan momen-momen lucu nan ajaib seperti itu sebagai penggambarannya akan dilema moralitas yang dialami Sang-hyeon. Dilema Sang-hyeon semakin bertambah parah saat ia mulai berhubungan dengan seorang wanita bernama Tae-ju (Kim Ok-bin), kawan semasa kecilnya yang kini telah menikah. Ada paradok romansa di sini. Tapi jangan lantas menyamakannya dengan tragedi cinta konyol ala Twilight.

Thirst adalah film gila yang menyenangkan. Walau tema moralitas tampak mencuat, Park Chan-wook berhasil membuat filmnya  tidak lantas jatuh menggurui. Selain akting prima dari Song Kang-ho, yang juga sempat bermain dalam beberapa film Park Chan-wook sebelumnya, rasanya acungan jempol harus diberikan kepada Kim Ok-bin yang berhasil mencuri perhatian. Dengan visual yang mengagumkan dan tempo yang bergulir cepat di setiap momen-momennya. Thirst adalah suguhan tontonan yang sangat sayang untuk dilewatkan.

1 comments:

Post a Comment