9/13/2010

Darah Garuda (2010)


Darah Garuda
Yadi Sugandi & Conor Allyn, Indonesia, 2010
95 min/Color/War Movie

Tahun 2009 lalu saya pergi menonton "Merah Putih" tanpa ekspektasi apapun. Saya pikir di masa seperti sekarang ini, tidak menetapkan ekspektasi yang berlebihan saat menonton film produksi lokal rasanya adalah sesuatu yang tepat. Dan saat itu, selepas menonton "Merah Putih" rasa puas itu hadir. Saya cukup puas dengan "Merah Putih". Tentu saja jauh dari sempurna, tapi toh rasanya menyenangkan untuk mendapat suguhan film produksi lokal yang cukup bermutu di tengah banyaknya film-film 'busuk' yang beredar.

Tahun 2010 ini para pahlawan perjuangan kita hadir kembali. Amir, Tomas, Dayan, dan Marius kembali bertarung untuk kemerdekaan bangsa Indonesia lewat "Darah Garuda", bagian kedua dari Trilogi Merah Putih. Bukan hanya Amir dan kawan-kawannya yang harus berjuang di film ini, Yadi Sugandi selaku sutradara pun tampaknya harus berjuang keras. Saya dan para penonton lain yang dulu cukup puas dengan bagian pertama trilogi ini tentunya sadar-atau-tidak kini telah mempunyai ekspektasinya masing-masing. Dan ini tugas berat bagi Yadi untuk memuaskan ekspektasi para penontonnya, untuk memberikan sajian yang lebih baik--- atau setidaknya mampu menyamai reputasi film pertamanya.


Amir, Tomas, Dayan, dan Marius adalah para pejuang kemerdekaan. Di film pertama kita tahu bahwa mereka bertemu saat melakukan pelatihan militer di sekolah perwira, untuk lantas kemudian pergi bertempur bersama-sama. Seluruh pasukan mereka hancur lebur diserang Belanda, dan hanya mereka berempat yang tersisa. Kini Amir (Lukman Sardi) harus memimpin kawan-kawan seperjuangannya. Ada konflik menarik jika kita mengingat "Merah Putih"; kita tahu bahwa Amir adalah mantan guru dan juga seorang muslim yang taat, dan ini jadi hal yang menarik saat ia harus memimpin kawan-kawannya yang notabene berbeda agama dan ras. Tomas (Doni Alamsyah) adalah pria asal Menado, Tomas juga seorang kristiani yang memiliki kepribadian keras dan temperamental. Di sisi lain ada Dayan (T. Rifnu Wikana), pria asal Bali pemeluk Hindu dengan sikap yang cenderung tenang. Dan jangan lupakan Marius (Darius Sinathrya), seorang pemuda manja berdarah biru asal Jakarta, Marius pria yang ceroboh dan penakut, namun terkadang justru amat berguna (ia bisa menyetir dan menguasai bahasa Belanda). Perbedaan karakter-karakter inilah yang mencuat di "Merah Putih", simbolisasi Bhineka Tunggal Ika yang lantas tak terasa menjadi berlebihan. Namun sayangnya, "Darah Garuda" seakan meninggalkan kelebihan karakter-karakternya tersebut. Saya, dan sebagian penonton mungkin beruntung karena telah menonton "Merah Putih", bagian pertama trilogi ini, sehingga walau samar-samar pun kita masih bisa mengingat pondasi dasar karakter-karakternya. Tapi pertanyaanya, bagaimana dengan para penonton lain yang belum sempat menonton "Merah Putih"?

Di bagian awal film kita melihat sebuah scene, saat keempat protagonis bertemu dengan Sersan Yanto (Ario Bayu) yang mengenalkan prajurit kebanggannya, Budi. Walau masih cenderung muda, Budi adalah seorang penembak yang ulung. "Sehebat apa ia menembak?" kira-kira begitu Amir bertanya, yang kemudian ditimpali Tomas, "setidaknya ia lebih jago dibanding Marius." Penonton yang sudah menonton "Merah Putih" tentu saja akan tertawa, toh kita sudah tahu betul bahwa Marius tak becus apa-apa soal menembak. Tapi sekali lagi pertanyaanya, apakah penonton yang belum menonton "Merah Putih" akan ikut tertawa, toh saat itu para penonton masih belum mempunyai gambaran apa-apa tentang kebodohan Marius?

Kurangnya pondasi karakterisasi itulah yang bagi saya menjadi kekurangan besar "Darah Garuda". Yadi dan Conor Allyn selaku sutradara tampaknya lebih menginginkan porsi aksi laga menjadi sajian utama di bagian kedua trilogi mereka. Dan untungnya adegan laga di film ini berhasil menutupi kekurangan-kekurangannya. Ya, action menjadi kunci di sini, bahkan dieksekusi jauh lebih baik ketimbang film pertamanya. Kita bisa melihat banyak ledakan; coba perhatikan saat adegan Tomas meledakkan markas tentara Belanda. BOOOM!!! Dan penonton (setidaknya yang berada satu teater saat itu dengan saya) bertepuk tangan seakan bangga. Sesuai judulnya, darah juga mendapat porsi yang lebih banyak di sini. Ini film lokal dengan biaya yang besar, dan saya rasa biaya besar ini telah dipergunakan dengan sangat baik.


Jika di "Merah Putih" keempat protagonis berhasil memberikan performa akting mereka yang terbaik. Maka di "Darah Garuda" Rudy Wowor lah yang layak mendapat pujian lewat aktingnya sebagai Mayor Van Gaartner. Rudy memberikan performa terbaiknya di sini, sebagai tentara Belanda yang penuh dendam.

Secara keseluruhan "Darah Garuda" adalah tontonan yang sangat bermutu. Sebuah sekuel yang lantas mampu mengimbangi bagian pertamanya--- atau justru melebihi. Film ini muncul di saat yang tepat, saat bangsa kita merayakan hari kemerdekaannya, dan saat bangsa ini mulai melupakan jasa pahlawan-pahlawannya. Saat masyarakat rindu dengan jenis genrenya. Terbukti, toh para penonton (setidaknya yang kala itu berada satu teater dengan saya) sibuk bertepuk tangan di beberapa momen, menunjukkan bahwa film ini berhasil melakukan tugasnya yang paling krusial, menunjukkan bahwa toh para penonton kita masih belum hilang rasa nasionalismenya. Saya sendiri masih ragu jika harus menjawab mana yang lebih baik antara "Merah Putih" atau "Darah Garuda". Toh keduanya punya kelebihannya tersendiri. Mereka yang menyukai adegan-adegan action mungkin akan memilih film ini, dan mereka yang lebih mementingkan drama serta karakter-karakter dengan pondasi yang kuat mungkin akan lebih memilih "Merah Putih". Mari kita anggap saja "Merah Putih" sebagai sebuah perkenalan, dimana kita diperkenalkan tentang siapa dan orang macam apa para pahlawan-pahlawan dalam film ini. Sedangkan "Darah Garuda" sebagai sebuah pembuktian, bukti kesungguhan hati, kerja keras dan perjuangan para pahlawan-pahlawan tersebut. Dan kita tentu saja layak untuk menunggu, hingga saat nanti disajikan bagian terakhir trilogi kepahlawanan bangsa Indonesia ini.

0 comments:

Post a Comment