8/23/2010

Contempt (1963)


Contempt (Le mépris)
Jean-Luc Godard, France, 1963
103 min/Color/French New Wave

Di tahun 1963, sebuah berita tersebar bahwa Jean-Luc Godard, sang pelopor gerakan French new wave yang sebelumnya dikenal lewat film-film seperti Breathless (1960), A Woman Is a Woman (1961) dan My Life to Live (1962) sedang menyiapkan film terbarunya dengan bujet besar yang akan di-shot menggunakan CinemaScope dan memoboyong Brigitte Bardot serta Michel Piccoli sebagai aktor. Tentu saja ini berita menggembirakan untuk para film buff di masa itu. Lantas sebuah berita kembali tersiar, Godard mengalami pertengkaran dengan produser filmnya, Carlo Ponti and Joseph E. Levine, yang protes akan hasil awal film ini. Ponti dan Levine marah karena mereka menginginkan ada adegan Brigitte Bardot telanjang di film ini, dan Godard tidak memberikannya sedikitpun. Untuk mengatasinya, Godard men-shot scene tambahan di awal film, prolog sepasang suami istri (dimainkan Bardot dan Piccoli) di atas ranjang, dimana Bardot mempertontonkan semua bagian belakang tubuhnya.

Dalam dunia sinema, khususnya jika sudah menyangkut studio dan bujet yang besar, permasalahan seperti itu kerap terjadi. Dan sutradara, seidealis apapun seringkali harus mengalah. Itulah yang dihadapi Godard saat ia membuat Contempt, dan mau tak mau ia harus bisa berkompromi. Ironisnya, Contempt sendiri bercerita dengan gamblang tentang hal tersebut.


Contempt menceritakan kisah tentang seorang sutradara legendaris, Fritz Lang (dimainkan oleh Fritz Lang sendiri), yang sedang berusaha menyelesaikan film terbarunya, sebuah adaptasi dari puisi 'The Odyssey' karya Homer. Di tengah usahanya ini Lang harus berurusan dengan produsernya yang menyebalkan, Jerry Prokosch (Jack Palance). Prokosch lantas menyewa Paul (Michel Piccoli), seorang penulis naskah yang diminta untuk menyelesaikan naskah milik Lang. Paul sendiri sebelumnya hanyalah seorang penulis naskah drama teater. Ia setuju mengambil pekerjaan ini hanya semata-mata untuk membayar apartemen yang ia dan istrinya Camille (Brigitte Bardot) tinggali. Camille tidak menyukai apa yang suaminya lakukan, terlebih lagi saat pekerjaanya itu membuat suaminya tampak tak lagi perdulian dengan dirinya. Camille menganggap Paul telah membiarkannya untuk dirayu oleh Prokosch--- atau setidaknya tidak berusaha membela dengan semestinya. Sementara itu Paul sendiri harus bergelut dengan pekerjaannya dan ketidak-mengertiannya akan sikap aneh istrinya.

Banyak kritikus beranggapan bahwa Contempt adalah sebuah pararel. Bahwa cerita dalam film ini adalah sebuah pararel terhadap cerita di The Odyssey: Paul sebagai Odysseus, Camille sebagai Penelope dan Palance sebagai Poseidon. Tapi bila kita pikirkan lagi--- terutama jika kita mengetahui cerita tentang kehidupan pribadi Godard ataupun ia sebagai seorang filmmaker--- pararel ini akan bisa terlihat semakin dalam. Kita toh bisa juga menyambungkan Ceritanya menjadi Paul sebagai Godard; Camille sebagai istri Godard, yaitu Anna Karina; dan Prokosch sebagai produser-produser Godard, yaitu Carlo Ponti and Joseph E. Levine.


Di film ini kita tahu bahwa Lang menginginkan The Odyssey sebagai semacam art-film, sedangkan Prokosch tampak menginginkan hal lain. Di satu scene kita melihat Prokosch yang marah saat melihat stok footage yang diambil Lang, "You cheated me, Fritz! That's not what's in the script!" teriak Prokosch sembari melempar film can di dalam ruang screening. Dalam scene itu kita bisa melihat keterikatan dengan apa yang dialami Godard di dunia nyata, seperti yang saya tulis di paragraf pertama. Dan menurut cerita, saat Godard membuat film ini, hubungannya bersama istrinya pun sedang dalam kondisi yang buruk. Bukankah ini autentik dengan apa yang protagonis dalam film ini alami? Apakah hubungan Paul dan Camille dalam film adalah penggambaran Godard akan hubungannya bersama Anna Karina, istri Godard yang juga sering bermain dalam film-film Godard sebelumnya? Boleh jadi begitu.


Namun terlepas dari kehidupan pribadi Godard dan apa yang mengelilinginya selama pembuatan film ini, tampaknya segala hal tersebut tidak mempengaruhi hasil akhir film ini. Contempt tetaplah sajian yang memukau, dan boleh jadi bisa dipastikan masuk diantara karya-karya terbaik Godard. Jika Godard pernah berkomentar bahwa, “a movie should have a beginning, a middle and an end, though not necessarily in that order.” Contempt terasa 'in that order'. Sebuah cerita dengan tiga babak. Babak pertama terjadi di sebuah komplek studio dan di rumah Prokosch. Babak kedua--- bagian paling manarik dalam film--- saat Paul dan Camille berada di dalam apartemennya, dan ditampilkan dengan shot-shot yang menawan dengan penggunaan CinemaScope yang boleh jadi sangat berbeda dari film-film kebanyakan. Dan babak akhir bertempat di lokasi syuting dengan panorama yang sangat indah. Secara visual, peran Raoul Coutard sebagai cinematographer harus diacungi jempol di sini, ialah yang menjadi cetak biru tampilan setiap gambar di film-film Godrad dan film-film nouvelle vague lainnya. Contempt adalah sebuah kisah tragedi, tentang pasangan yang sayangnya menolak untuk mendapatkan kebahagiaan. Martin Scorsese pernah berkomentar bahwa Contempt, “brilliant, romantic and genuinely tragic,” lantas melanjutkan “It’s also one of the greatest films ever made about the actual process of filmmaking.” Dan Scorsese benar, Contempt juga adalah contoh terbaik sebuah film tentang filmmaking.

Contempt adalah film yang berbeda. Bukan hanya berbeda dari film-film kebanyakan namun juga dari karya Godard lainnya-- sebelum dan bahkan sesudahnya. Contempt boleh jadi sebuah experimen bagi Godard. Momen dimana ia memuaskan rasa penasarannya sebagai seorang filmmaker. Dan kita beruntung bisa melihat sedikit kehidupan Godard tertangkap di dalam layar, dalam tiap kalimat dan dialognya.

2 comments:

Rijon said...

Aku belum nonton "Contempt" agaknya (kurang-lebih) bertema sama dengan "8½"-nya Federico Fellini ya?

Willy & Jonih said...

@Rijon:
Tema "pararel-antara-cerita-film-dan-filmmakernya" sih kurang lebih memang sama. Kalo di "8½" kan Fellini terang-terangan memfilmkan kebuntuannya/proses kreatifnya sendiri. Tapi di sini pararelnya cukup tersamar.

Oya, dan "8½" mungkin jauh lebih 'surreal'.

Post a Comment